ONLINE KITE – Penagihan yang dilakukan baik oleh perusahaan pinjol maupun penagihan dari pihak ketiga harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai peraturan OJK.
Teror pinjaman online (pinjol) yang dilakukan oleh pinjol P2P lending AdaKami menjadi sorotan usai adanya laporan proses penagihan utangnya memakan korban. Pihak debt collector AdaKami juga disebut meneror korban dengan cara yang tidak manusiawi yang berlanjut ke keluarga dan kerabat korban, bahkan setelah korban meninggal dunia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan platform penyelenggara fintech peer to peer lending yaitu PT Pembiayaan Digital Indonesia atau AdaKami segera melakukan investigasi secara mendalam untuk memastikan kebenaran berita viral adanya nasabah bunuh diri.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa mengatakan OJK memerintahkan AdaKami untuk membuka kanal pengaduan bagi masyarakat yang memiliki informasi mengenai korban bunuh diri, sehingga AdaKami melaporkan penanganan pengaduan tersebut kepada OJK.
“OJK mengimbau bagi masyarakat yang mengetahui informasi lebih lanjut tentang dugaan korban bunuh diri untuk menyampaikan langsung ke OJK melalui Kontak OJK 157, email konsumen@ojk.go.id, dan telepon 157,” kata Aman sebagaimana keterangan resmi, di Jakarta, Kamis (21/9).
Lantas bagaimana hukumnya keterlibatan pihak ketiga dalam menagih utang kepada nasabag? Pada dasarnya, penyelenggara pinjol diizinkan bekerja sama dengan pihak ketiga seperti debt collector untuk melakukan penagihan utang. Namun, sering kali debt collector menggunakan metode penagihan yang tidak sesuai aturan yaitu dengan cara kekerasan, premanisme, hingga ancaman.
Meski penagihan dapat dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan perjanjian kerja sama, tetapi tanggung jawab proses penagihan tetap berada pada penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi/Fintech (LPBBTI).
Penagihan yang dilakukan baik oleh perusahaan pinjol maupun penagihan dari pihak ketiga harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai peraturan OJK.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa proses penagihan yang dilakukan baik oleh perusahaan pinjol maupun penagihan dari pihak ketiga harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai peraturan OJK.
Sebagai informasi, OJK belum mengatur proses penagihan utang dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun, secara garis besar OJK mempunyai panduan mengenai etika dan cara penagihan utang, yaitu:
- Tidak menggunakan ancaman atau mempermalukan nasabah
- Tidak menggunakan kekerasan fisik maupun verbal dalam penagihan
- Dilarang menyebarkan data pribadi terkait proses penagihan utang
- Tidak menagih ke pihak lain yang bukan berutang
Selanjutnya, dalam proses penagihan ke debitur, debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen. Dokumen tersebut di antaranya kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.
Tidak hanya persiapan oleh debt collector, perusahaan pembiayaan pinjol juga wajib terlebih dahulu mengirimkan surat peringatan kepada debitur terkait kondisi kolektibilitas yang sudah macet, hal ini untuk menghindari perselisihan.
Jika nasabah mengalami cara penagihan yang tidak manusiawi dan dirugikan oleh debt collector dapat melapor kepada OJK atau Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
AFPI merupakan organisasi yang mewadahi pelaku usaha pendanaan online yang ada di Indonesia. AFPI ditunjuk langsung oleh OJK sebagai asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis online pada tahun 2019.
Debt collector yang digunakan oleh perusahaan pinjol tidak boleh termasuk dalam daftar hitam yang dikeluarkan oleh OJK atau AFPI. Secara jelas, baik OJK maupun AFPI melarang debt collector menggunakan kekerasan fisik maupun mental kepada debitur.
Jika dalam melakukan penagihan, debt collector tetap melakukan dengan cara kekerasan atau ancaman, maka debt collector tersebut dapat dijerat oleh Pasal 365 ayat (1) KUHP yang berbunyi: diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.(*)